RSS

PERTANIAN YANG TERABAIKAN

10 Mei

Lahan-lahan pertanian terus menyusut akibat pengalihan fungsi menjadi perumahan dan industri. Padahal, tahun 2030, Indonesia butuh setidaknya 15 juta hektare lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan 280 juta penduduk. Krisis pangan menanti jika konversi lahan pertanian tak dicegah.

Hamparan ratusan hektare sawah di Kecamatan Klari, Kabupaten Kawarang, Jawa Barat, tampak menguning. Saat GATRA berkunjung ke sana, Rabu dua pekan lalu, sawah-sawah tersebut memang sudah siap dipanen.

Di tengah teriknya matahari, tampak seorang petani bernama Taslim, 51 tahun, sedang asyik memanen padi. Tak jauh dari tempatnya bekerja, tampak kepulan asap dari cerobong sebuah pabrik.

Memanen padi sambil menghirup polusi udara pabrik memang sudah jamak bagi Taslim, terutama 10 tahun belakangan ini. Maklum, perkembangan industri yang semakin pesat di wilayah Karawang membuat ribuan hektare sawah cepat beralih menjadi lahan pabrik. “Semakin hari, kawasan pertanian memang semakin terdesak oleh pabrik,” katanya kepada GATRA.

Kepala Seksi Produksi Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Karawang, Nanang Sumpena, mengatakan bahwa saat ini dampak konversi lahan memang belum terasa. Tahun lalu, Karawang masih mampu menghasilkan beras 837.421 ton. Jumlah itu jauh melampaui kebutuhan kabupaten, yang hanya 295.763 ton. Dengan demikian, terdapat surplus beras sebanyak 541.658 ton.

Hanya saja, ia tak yakin produktivitas itu bisa dipertahankan. “Dari target produksi sekarang, (dampak penyusutan –Red.) memang masih belum terasakan, entah 10 tahun lagi,” ujarnya. Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, laju penyusutan lahan pertanian di Karawang mencapai 104 hektare per tahun.

Dindin Rachmady, Kepala Bagian Prasarana dan Tata Ruang Bappeda Kabupaten Karawang, mengungkapkan, tahun 1989 adalah awal mula beralihnya sebagian lahan pertanian di Karawang ke industri. Ketika itu, Presiden Soeharto menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri yang diarahkan ke Karawang. Berkembangnya industri ini memicu datangnya tenaga kerja dari luar ke wilayah itu. Pada gilirannya, industri lahan pertanian juga terdesak oleh kebutuhan perumahan.

Akibatnya, Kabupaten Karawang semakin sulit mempertahankan lahan pertanian. Terlebih, Karawang juga masuk dalam peta pengembangan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Mempertahankan lahan pertanian bagi warga Karawang bukanlah sekadar menjaga eksistensi sebagai kawasan lumbung pangan. Lebih dari itu, lahan pertanian adalah sumber utama penghidupan penduduk. “Industri tidak banyak menyerap tenaga kerja lokal,” kata Dindin.

Kondisi serupa terjadi di banyak daerah di Indonesia. Menurut pengamat masalah pangan dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, Said Abdullah, demi melihat ancaman krisis pangan yang di depan mata, seharusnya pemerintah mengubah orientasi pembangunan untuk memperkuat basis produksi pangan. Masalahnya, lewat program MP3EI, pemerintah malah semakin mengancam basis-basis produksi pangan. Selama ini, Jawa menjadi tulang punggung pangan nasional dengan luas lahan pertanian mencapai 3,5 juta hektare. Sumatera menduduki posisi kedua, dengan luas lahan 2,39 juta hektare.

Tetapi dua wilayah itu malah akan dijadikan koridor industri. Menteri PPN/Kepala Bappenas, Prof. Armida Salsiah Alisjahbana, mengatakan bahwa Jawa akan dikembangkan sebagai basis industri makanan, minuman, tekstil, alutsista, dan peralatan transportasi. Sumatera akan menjadi pusat industri perkebunan dan pertambangan. “Setiap koridor memiliki prioritas yang sama sesuai dengan potensinya masing-masing,” ujarnya kepada GATRA.

Mengingat perannya sebagai tulang punggung produksi pangan, menjadikan Jawa dan Sumatera sebagai koridor industri jelas mengherankan. Sebaliknya. pemerintah malah cenderung mengembangkan lahan pertanian ke luar Jawa dan Sumatera. “Ini tentu pekerjaan berat,” katanya. Biaya mencetak sawah baru sangat besar, mencapai Rp 10 juta per hektare. “Persoalan dana menjadi alasan utama kegagalan mencetak sawah baru dalam jumlah besar,” ia melanjutkan.

Said Abdullah menyatakan, pemerintah perlu memikirkan ulang rencana tersebut. Pemerintah harus menjadikan pertanian sebagai bidang usaha yang menguntungkan dan menjanjikan secara ekonomi. Untuk itu, diperlukan insentif bagi petani. Selain dalam bentuk subsidi benih dan pupuk, juga diarahkan pada produk dan pasar. Insentif pun bisa diberikan dalam bentuk asuransi, baik kesehatan maupun pendidikan. “Dengan cara ini, perpindahan sawah bisa dikurangi,” ujarnya.

M. Agung Riyadi, Birny Birdieni, Cavin R. Manuputty, dan Ade Faizal Alami

Proyeksi Kebutuhan Beras Nasional 2010-2020

Tahun Luas Sawah Produksi (Gabah Kering Giling-GKG) Beras Jumlah Penduduk Konsumsi Beras Produksi GKG dibutuhkan
2010 6,868,840 34,344,200 21,533,813 233,973,245 32,557,377 51,925,641
2011 6,758,840 33,794,200 21,188,963 237,014,897 32,980,623 52,600,675
2012 6,648,840 33,244,200 20,844,113 240,096,091 33,409,371 53,284,483
2013 6,538,840 32,694,200 20,499,263 243,217,340 33,843,693 53,977,182
2014 6,428,840 32,144,200 20,154,413 246,379,166 34,283,661 54,678,885
2015 6,318,840 31,594,200 19,809,563 249,582,095 34,729,349 55,389,711
2016 6,208,840 31,044,200 19,464,713 252,826,662 35,180,830 56,109,777
2017 6,098,840 30,494,200 19,119,863 256,113,409 35,638,181 56,839,204
2018 5,988,840 29,944,200 18,775,013 259,442,883 36,101,477 57,578,114
2019 5,878,840 29,394,200 18,430,163 262,815,640 36,570,796 58,326,629
2020 5,768,840 28,844,200 18,085,313 266,232,244 37,046,217 59,084,875

Sumber: Ditjen tanaman pangan, BPS diolah
(Laporan Utama Majalah GATRA edisi 18/27, terbit Kamis 10 Mei 2012)

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dinas Pertanian Provinsi DIY menyebutkan, setiap tahun lahan pertanian seluas 200-240 hektare beralih fungsi untuk kawasan perumahan dan perhotelan. Jika pada 2006 DIY masih memiliki lahan sawah seluas 57.661 hektare, pada 2010 provinsi ini hanya memiliki lahan seluas 56.538 hektare.

Dalam kurun waktu empat tahun, sekitar 1.123 hektare lahan pertanian di DIY telah beralih fungsi. Penyebab utamanya adalah semakin pesatnya pertumbuhan industri pariwisata, perdagangan, dan jasa. “Sektor pertanian semakin lama semakin menurun perannya dalam menyumbang pertumbuhan ekonomi,” kata Biwara Yuswantana, Kepala Bidang Perekonomian Badan Perencanaan Pembangunan Daerah DIY.

Dalam dua tahun terakhir, laju pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) DIY dari sektor pertanian mengalami pertumbuhan negatif. Jika pada 2010 sektor pertanian menyumbang PDRB sebesar Rp 3,63 milyar, pada 2011 angkanya turun 2,12% menjadi Rp 3,55 milyar. “Pertanian akhirnya pelan-pelan memang mulai ditinggalkan,” ujar Biwara.

Minimnya sumbangsih sektor pertanian terhadap perekonomian DIY memang tidak terlepas dari kultur pertanian masyarakatnya. Kepala Dinas Pertanian DIY, Nanang Suwandi, mengatakan bahwa kebanyakan pertanian di wilayahnya adalah pertanian skala kecil dengan lahan seluas 0,3 hektare per kepala keluarga. “Kebanyakan mereka adalah petani utun, petani yang juga merangkap sebagai tukang, peternak, bahkan membecak,” ujarnya kepada GATRA.

Lebih dari 80% petani di DIY adalah petani gurem. Berdasarkan catatan Bappeda DIY, latar belakang pendidikan sebagian besar petani (70,64%) hanya setara atau tidak lulus sekolah dasar. Selain itu, lebih dari 40% anggota rumah tangga pertanian hanya berstatus buruh tani. Hampir separuh (46%) dari buruh tani tersebut juga sudah berusia lanjut, di atas 55 tahun.

Tak mengherankan jika tekanan ekonomi untuk menghidupi keluarga membuat banyak rumah tangga pertanian yang masih memiliki lahan sendiri begitu mudah melepas lahannya. Tren seperti ini terus terjadi, meski DIY telah menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan (PLPB) sebagai implementasi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009. (MAG)

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Mei 10, 2012 inci BERITA

 

Tag: , ,

Tinggalkan komentar